Karena menulis artinya mengekalkan jiwa yang pernah ada :) |
Cerita di mana saya pernah membanggakan sesuatu, sementara orang lain justru meremehkan. Tentang hobi dan impian. Hobi saya menulis dan impian saya ingin menjadi seorang penulis. Penulis kisah inspiratif yang saat para pembaca nanti usai baca, karya tersebut meninggalkan bekas yang menyentuh dalam hati XD
Jaman
SMP dulu, awal mula saya melibatkan tulis menulis menjadi teman separuh jiwa. Apabila saya mengalami suatu kejadian, dapat ide, atau inspirasi, saya langsung
menumpahkannya dalam tulisan. Itu yang disebut diary (^O^)// Bahkan saya mulai menulis untuk umum pula. Melalui blog,
teman-teman bisa membaca cerpen saya.
Saya pun pernah mengikuti lomba cipta cerpen, meski bukan yang utama, tetapi saya masuk tiga besar. Pun itu pertama kalinya mendapat hadiah yang begitu besar,
pada waktu itu. Bukan hadiah yang saya banggakan, tapi ternyata tulisan saya termasuk
kategori layak dibaca. He. Semangat kian menggebu, hingga saya menjadikan profesi menulis
sebagai impian yang paling dimimpi-mimpikan :))))
Selama
dua tahun SMP, saya dengan percaya diri menuliskan profesi penulis sebagai
cita-cita di manapun ada kolom data diri. Di perkenalan umum lainnya, jikalau seorang teman
tanya cita-citak saya apa, pasti saya jawab “penulis sukses”.
Once upon a time, saya pernah terlibat cakap dengan seorang tentara dengan pangkat yang
tinggi. Atribut yang tertempel diseragam hijau tuanya, membuat saya yakin beliau
bukan orang biasa. Detik demi detik membuktikan, beliau orang yang berdikari
dan tentunya berpendidikan. Nasihat bijak selalu keluar dari mulutnya. Seperti
tak kenal capek bicara, tentara ini ngomooooong terus. Tak ada sela
sampai saya hanya mengangguk-angguk dan tersenyum saja.
Hingga
tibalah ke pertanyaan yang beliau lontar, “Cita-citamu besok mau jadi
apa?”
Kayaknya saya minder nih buat jawab “penulis”
Saya—pun
hanya menjawab, “hee.. belum tahu” *edisicariaman*
Beliau
menaikkan satu alis kirinya,
“Lho, cita-cita itu harus sudah dipikirin sebagai patokan masa depan. Kalau belum punya tujuan, mau pakai jalan mana? Arahnya ke mana? Kan ngga tahu. Malah bingung, ntar. Apalagi sekarang sudah bukan anak SD lagi, harus sudah pilih tujuan hidup.” Jelas beliau.
“Lho, cita-cita itu harus sudah dipikirin sebagai patokan masa depan. Kalau belum punya tujuan, mau pakai jalan mana? Arahnya ke mana? Kan ngga tahu. Malah bingung, ntar. Apalagi sekarang sudah bukan anak SD lagi, harus sudah pilih tujuan hidup.” Jelas beliau.
Menusuk pelan.
Oke, saya memberanikan diri memperkenalkan impian saya, “Mmm.. mau jadi penulis,
pengennya sih cuma itu, he.”
Apa
tanggapan pak tentara itu?
“Penulis?
Mbok ya kalau punya cita-cita itu yang jelas toh” Balas bapak itu.
“Penulis
itu nggak pasti, mbok ya jadi dokter, presiden, menteri, dan masih banyak
pekerjaan yang jelas” tambahnya.
Yup, saya tahu persis ke mana arah berpikir pak tentara ini. Kebanyakan orang tua
mah, gitu. Sama kayak ibu saya, pengennya semua anak jadi PNS, kerja sama Negara yang bayarannya
jelas tiap bulan. Apakah sukses hanya bisa diraih PNS? Tentu tidak.
Sempet
down beberapa hari mogok nulis, because bad mood.
Tapi saya teringat hal-hal yang bisa saya banggakan dari menulis. Misalnya bisa membuat temen senang. Saat menulis cerpen, banyak temen yang baca dan suka. Tiap hari
mereka menuntut agar saya membuat cerpen lagi. Bahkan, ada teman pernah
hampir nangis baca cerpen saya. Hampir, iya hampir. Karena dia laki-laki, ngga
lucu yakan kalau nangis gegara cerpen doang.
Komentar
serta ekspresi teman-teman itulah yang membuat saya semangat dan bangga dengan
profesi menulis. Karena menulis selain untuk menghibur, bisa untuk menuangkan
aspirasi, juga ajang dakwah :)
[#KampusFiksi
10 Days Writing Challenge]
Day
6 #10DaysKF #Kampusfiksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sila tinggalkan komentar untuk hal yang perlu disampaikan :)