Selasa, 24 Januari 2017

Profesi Penulis, Apa Salahnya?


Karena menulis artinya mengekalkan jiwa yang pernah ada :)

Cerita di mana saya pernah membanggakan sesuatu, sementara orang lain justru meremehkan. Tentang hobi dan impian. Hobi saya menulis dan impian saya ingin menjadi seorang penulis. Penulis kisah inspiratif yang saat para pembaca nanti usai baca, karya tersebut meninggalkan bekas yang menyentuh dalam hati XD

Jaman SMP dulu, awal mula saya melibatkan tulis menulis menjadi teman separuh jiwa. Apabila saya mengalami suatu kejadian, dapat ide, atau inspirasi, saya langsung menumpahkannya dalam tulisan. Itu yang disebut diary (^O^)// Bahkan saya mulai menulis untuk umum pula. Melalui blog, teman-teman bisa membaca cerpen saya. 

Saya pun pernah mengikuti lomba cipta cerpen, meski bukan yang utama, tetapi saya masuk tiga besar. Pun itu pertama kalinya mendapat hadiah yang begitu besar, pada waktu itu. Bukan hadiah yang saya banggakan, tapi ternyata tulisan saya termasuk kategori layak dibaca. He. Semangat kian menggebu, hingga saya menjadikan profesi menulis sebagai impian yang paling dimimpi-mimpikan :))))

Selama dua tahun SMP, saya dengan percaya diri menuliskan profesi penulis sebagai cita-cita di manapun ada kolom data diri. Di perkenalan umum lainnya, jikalau seorang teman tanya cita-citak saya apa, pasti saya jawab “penulis sukses”.

Once upon a time, saya pernah terlibat cakap dengan seorang tentara dengan pangkat yang tinggi. Atribut yang tertempel diseragam hijau tuanya, membuat saya yakin beliau bukan orang biasa. Detik demi detik membuktikan, beliau orang yang berdikari dan tentunya berpendidikan. Nasihat bijak selalu keluar dari mulutnya. Seperti tak kenal capek bicara, tentara ini ngomooooong terus. Tak ada sela sampai saya hanya mengangguk-angguk dan tersenyum saja.

Hingga tibalah ke pertanyaan yang beliau lontar, “Cita-citamu besok mau jadi apa?”

Kayaknya saya minder nih buat jawab “penulis”

Saya—pun hanya menjawab, “hee.. belum tahu” *edisicariaman*

Beliau menaikkan satu alis kirinya, 

“Lho, cita-cita itu harus sudah dipikirin sebagai patokan masa depan. Kalau belum punya tujuan, mau pakai jalan mana? Arahnya ke mana? Kan ngga tahu. Malah bingung, ntar. Apalagi sekarang sudah bukan anak SD lagi, harus sudah pilih tujuan hidup.” Jelas beliau.

Menusuk pelan.

Oke, saya memberanikan diri memperkenalkan impian saya, “Mmm.. mau jadi penulis, pengennya sih cuma itu, he.”

Apa tanggapan pak tentara itu?

“Penulis? Mbok ya  kalau punya cita-cita itu yang jelas toh” Balas bapak itu.

“Penulis itu nggak pasti, mbok ya jadi dokter, presiden, menteri, dan masih banyak pekerjaan yang jelas” tambahnya.

Yup, saya tahu persis ke mana arah berpikir pak tentara ini. Kebanyakan orang tua mah, gitu. Sama kayak ibu saya, pengennya semua anak jadi PNS, kerja sama Negara yang bayarannya jelas tiap bulan. Apakah sukses hanya bisa diraih PNS? Tentu tidak.

Sempet down beberapa hari mogok nulis, because bad mood.

Tapi saya teringat hal-hal yang bisa saya banggakan dari menulis. Misalnya bisa membuat temen senang. Saat menulis cerpen, banyak temen yang baca dan suka. Tiap hari mereka menuntut agar saya membuat cerpen lagi. Bahkan, ada teman pernah hampir nangis baca cerpen saya. Hampir, iya hampir. Karena dia laki-laki, ngga lucu yakan kalau nangis gegara cerpen doang.
Komentar serta ekspresi teman-teman itulah yang membuat saya semangat dan bangga dengan profesi menulis. Karena menulis selain untuk menghibur, bisa untuk menuangkan aspirasi, juga ajang dakwah :)

[#KampusFiksi 10 Days Writing Challenge]

Day 6 #10DaysKF #Kampusfiksi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sila tinggalkan komentar untuk hal yang perlu disampaikan :)