"Maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allâh, lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allâh telah memelihara mereka...".
(Surah An-Nisâ' (4):34)
|
Halalkan atau lepaskan? Kalimat
pilihan itu terus membayangi malamku. Kalimat yang tak sengaja aku dengarkan
sewaktu lewat di depan langgar (tempat ngaji di kampung). Jadwal ngaji di
langgar hari itu memang tentang pernikahan. Berpedoman kitab uqudul jain, kitab
kuning bertuliskan arab tanpa harokat. Aku tak pernah mengikuti pengajian yang
dikhususkan untuk remaja itu dengan alasan sibuk sekolah. Tetapi saat ini, aku
tertarik. Hatiku tergugah untuk ingin tahu tentang syariat pernikahan.
Ahad sore aku dengan kata tumben,
mengikuti jamaah di langgar. Aku menemui ustad Tohar, selaku pengurus masjid
dan langgar untuk ijin mengikuti kegiatan remaja masjid.
“Assalamu’alaikum
ustad” Sapaku sedikit menunduk dan merapatkan kedua tangan di depan dada.
“Wa’alaikumussalam
warahmatullah” Balas ustad Tohar dengan senyum selebar perahu nelayan.
“Gini
tad, saya mau gabung lagi di remaja masjid. Tapi khusus ngaji kitab uqudul jain
bisa? Hari lain saya ada les di sekolah tad.” Jelasku, sambil memakai sandal.
Ustad tersenyum sejenak, senyum dan helaan nafas seperti berkata Alhamdulillah.
“Ustad senang, kamu mau tholabul ‘ilmi lagi. Boleh sekali. Setiap hari Rabu,
ba’da Isya’ datang saja ke langgar.”
Aku
sudah mendapat jadwalnya dan bisa memulai jadwal malam yang baru. Aku bertekad
akan bersungguh-sungguh tholabul ‘ilmi. Seperti dulu SD waktu masih ngaji di
TPA. Tanpa beban apapun dulu aku langkahkan kaki ke langgar dengan teman-teman.
Meski hujan deras, hujan angin, maupun hujan batu sekalipun, kita tetap
berangkat ngaji.
“Nanti
ngajinya sama pak kyai, bukan dengan saya.” Jelas ustad menambahkan. `
Aku
mengangguk-angguk mengerti. Tersenyum dan menundukkan dagu hampir menyentuh
leher pelan. Kemudian berlalu pulang.
***
Malam yang biasanya ku habiskan di
meja belajar, dengan buku fisika, matematika, kimia, dan sebagainya, kini
kutinggalkan. Aku kini berada di langgar yang jauhnya hanya 200 meter dari
rumah. Aku melihat banyak kenangan di langgar ini. Tempat terakhir aku mengaji
sekitar 5 tahun yang lalu. Masyaallah, begitu lamanya aku dibutakan dari jalan
Surga. Aku melihat ada Alquran lusuh tanpa sampul, dengan goresan pena biru
yang sudah pudar bertuliskan sebuah nama, ALMIRA. Alquran yang aku tinggal dahulu
setelah khatam quran kelas 6 SD. Ya Allah Alquranku masih dipakai.
Mudah-mudahan dari setiap huruf yang dibaca orang lain dari quranku, aku bisa
mendapat amal jariyah kelak. Aamiin.
Dan tak lupa, teman-teman masa TPA
ku yang kini duduk di sebelah kanan kiriku. Bedanya, mereka sekarang sudah
besar, diam tanpa banyak bergerak seperti dulu. Juga jumlahnya yang berkurang
karena banyak yang mondok (belajar di pondok pesantren).
Konsentrasiku
menjadi buyar, aku menegakkan badan dan mendengar kajian pak kyai.
“Kenapa
saya sudah mengajari kalian tentang pernikahan? Seharusnya kitab ini diajarkan
untuk usia 17 tahun ke atas. Saya yakin diantara kalian belum ada yang
menginjak usia 17 tahun.” Kami saling menengok kanan kiri. Memang benar,
rata-rata dari kami masih berusia Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Aku jadi tersadar, bahwa di sini aku satu-satunya yang bersekolah di SMA negeri.
“Saya
khawatir dengan pengalaman yang sudah ada di kampung kita. Banyak remaja yang
hamil, nikah sirih, narkoba, dan sebagainya. Padahal usianya masih sama seperti
kalian. Mereka tidak ngaji sehingga tidak paham syariat agama. Maka dari itu,
saya berani mengambil materi ini.”
Betul
juga kata pak kyai, toh kalau tidak mengaji sekarang, kapan lagi? Kebanyakan
teman-teman remaja masjid setelah lulus SMA, merantau ke Jakarta untuk kerja
dan pendidikan. Tidak ada lagi kesempatan mengaji di langgar setelah lulus SMA.
“Nanti
kalau kalian mau menikah, pilih calon suami yang mengerti agama. Itu yang
pertama dan utama. Pilih yang benar-benar paham syariat agama dan hukum
pernikahan. Masalah harta dan tahta itu tidak penting. Karena pernikahan itu
penyempurna agama. Dan suami akan menuntun istrinya ke jalan Surga.”
Tangan Khumairah diangkat menunjuk atap langgar menyela kajian pak kyai, “Saya mau
bertanya kyai, Bagaimana suami itu bisa menuntun istrinya ke Surga? Dan apakah
semua istri bisa masuk Surga?”
Pak
kyai mengelus-elus jenggot tipisnya dan tersenyum halus, “Nah itu dia, saya
mendoakan untuk kalian semua semoga kalian mendapat jodoh yang paham hukum dan
syariat agama. Agar suami itu bisa mendidik kalian, mengajari kalian tentang
hukum haid, bersuci, dan lain-lain. Istri itu bisa dengan mudah masuk Surga
hanya dengan 4 kunci. Pertama, shalat lima waktu, kedua, puasa wajib, ketiga,
menjaga harga dirinya, dan yang keempat menaati suami.”
Khumairah menaikkan satu alisnya, terlihat ia belum paham. Pak kyai sepertinya paham
dengan kebingungannya. Beliau melanjutkan, “Tidak semua laki-laki paham hukum
dan syariat kan? Andaikata kalian mendapat suami yang rusak, yang islam KTP,
atau pun yang tukang mabuk, tetap taati perintahnya. Turuti semua keinginannya
kecuali maksiat dan menyimpang dari ajaran agama. Supaya kalian mendapat ridho
suami juga ridho Allah. Maka apabila ada istri yang berbakti pada suami, pahalanya
seperti pahala istrinya Fir’aun.”
***
Terngiang-ngiang semua susunan
kalimat pak kyai. Bagaimana dengan aku? Siapa jodohku nanti? Apakah Sesar?
Pacarku sekarang. Tetapi akhir-akhir ini dia menjauh dariku. Banyak yang bilang
dia playboy dan aku lihat tak pernah ke mushola untuk shalat. Bagaimana
hubungan kita? Aku menyesal, aku harus menyudahi pendekatan zina ini.
Aku menuliskan sebuah surat untuk Sesar. Aku selipkan di buku fisikanya yang kemarin aku pinjam. Aku taruh dalam
tasnya. Sesar sedang keluar sekolah, ia menjabat sebagai ketua OSIS sehingga
sering mengikuti seminar.
Sesar,
Aku rasa kita terjebak dalam hubungan
yang salah. Hubungan yang tidak dihalalkan agama. Aku ingin kita berada di
jalan Allah. Jadi cukup sekian hubungan kita. Semoga kita masih dalam ikatan
persahabatan dan persaudaraan.
Almira.
Tak
menunggu lama kepastian hubunganku dengan Sesar, aku mendengar teman-teman satu
kelasnya sedang membicarakannya. Mereka bilang tadi malam ia resmi
menjadi pacar baru Siska, ketua cheersleader di sekolah. Ya Allah.. Aku
tidak sakit hati. Aku sudah mengikhlaskan hubungan yang aku jalin 6 bulan ini,
hanya saja aku menyesal. Aku menyesal pernah pacaran. Apalagi dengan cowok
playboy. Jika boleh mengulang waktu, aku tidak akan pernah pacaran.
***
Sekarang
ini yang menjadi tekadku adalah bagaimana aku meraih Surga. Surga yang hanya
diperuntukkan untuk orang-orang yang berjuang dalam agama. Sementara aku?
Shalat jarang, lebih suka travelling, apalagi buka alquran, bahkan
aku tak ingat kapan terakhir membacanya.
Istighfar
selalu menjadi nada hatiku saat ini di mana dan kapanpun. Aku bertaubat dan
memiliki tujuan hidup baru, yaitu Surga. Mata dan hatiku telah terbuka bahwa
manusia diciptakan untuk beribadah. Dunialah tempat kita mencari amal akhirat
sebanyak-banyaknya. Dan tujuan kita adalah akhirat yang kekal. Tentu aku tidak
ingin selamanya terbakar di neraka.
“Hei Al? Ngalamunin apa?”
Suara serak basah Pak Dzaki, guru agama
mengagetkanku. Ternyata aku melamun saat pelajaran di sekolah.
“Mmmm—nggak pak, Afwan, saya bingung nih pak.
Mau hijrah, tapi caranya gimana?” Tanyaku sekalian, mumpung beliau paham agama.
Pak Dzaki sedikit tertawa. “Hijrah ya..
shalatnya dijaga aja. Deketin diri sama Allah. Hindari larangannya.”
“Sudah? Itu saja pak? Kok gampang banget ya..”
Gumamku belum puas dengan jawaban beliau.
“Jangan meremehkan. Shalat tepat waktu itu
susah lho. Godhul bashor juga susah.”
Godhul bashor? Seperti pernah mendengar. Aku
memutar waktu mencari-cari materi berbagai pengajian. Oh ya.. godhul bashor,
artinya menundukkan pandangan. Materi pengajian remaja dari ustad Tohar beberapa
minggu lalu.
Karena
tugas sekolah dan banyaknya ulangan serta kuis, aku memang sering, bahkan
hampir setiap hari shalat dzuhur setengah tiga sore. Pun kalau ada adik atau
kakak kelas yang ganteng, pandanganku tak pernah lepas karena sejuk di mata.
Inikah yang dinamakan kenikmatan dunia?
Masyaallah, jalan yang aku lalui selama ini
berkelok-kelok menjauh dari Surga. Aku akan berusaha mencari jalan yang lurus
untuk ke Surga.
***
“Pak
kyai, apa benar kalau perempuan itu bisa masuk Surga dari pintu mana saja?”
Tanyaku memberanikan diri.
“Ya, asalkan dia taat pada suami kecuali
maksiat” Singkat saja pak kyai menjawab, karena mungkin aku bertanya bukan pada
waktunya.
Tekad
hijrahku semakin menggebu. Aku berubah 99% dari penampilan maupun sikap.
Sekarang aku lebih tertutup. Foto-foto wajahku di social media aku hapus,
status yang alay aku hapus, dalam berpenampilan aku lebih syar’i dengan
kerudung yang menjulur panjang sampai bawah pusar. Meski begitu, aku tak ingin
di cap perempuan yang alimnya cuma dari luar. Hati pun aku perbaiki. Pendiam di
kelas adalah hobby ku akhir-akhir ini.
Sungguh aku ingin mendapatkan Surga Allah lewat
pintu mana saja. Suatu kehormatan bagiku jika nanti di akhirat disuruh memilih
pintu Surga. Dunia ku tinggalkan, akhirat ku jadikan tujuan. Meski begitu nilai
raportku tetap stabil. Jadi tidak masalah aku mendalami agama. Memang benar kata pak kyai, Jika kita mengejar akhirat, maka dunia akan tertunduk.
***
Hari
ini aku tidak les, aku ikut tholabul ‘ilmi di langgar. Aku keluar dari semua
les mata pelajaran sehingga aku bisa mengikuti pengajian setiap hari. Aku
kembali menjadi Almira si anak TPA.
Satu pertanyaan dari ku untuk ustad Tohar saat tidak
sengaja berpapasan di depan langgar, “Ustad, guru bahasa saya pernah bilang,
kalau orang baik itu jodohnya orang baik. Sementara orang jahat jodohnya juga
orang jahat. Benar tad?”
Seperti biasa, ustad sebelum menjawab
pertanyaan pasti memamerkan senyum perahunya. “Di alquran ada ayat seperti itu,
artinya pernyataan itu benar. Tapi hati-hati, jangan niatnya hanya karena ingin
dapat jodoh yang baik. Persiapkan saja dirimu untuk menjadi istri yang diridhoi
suami kelak.” Ustad menghela nafas panjang, “Masalah rupa dan kekayaan itu
bonus. Yang paling penting imannya. Tapi kalau tidak dapat, ya tidak apa-apa.
Berbaktilah dan buat suami bahagia.” Ustad tersenyum dua detik, “Katanya
Almira mau memilih pintu Surga?”
“Hehehe.. Iya tad. Doakan ya, semoga saya
termasuk wanita yang dibebaskan memilih pintu Surga dari mana saja.” Jawabku
malu-malu.
Aku
paham tentang jodoh. Aku belum mau memikirkan jodohku siapa dan bagaimana, yang
terpenting saat ini adalah memperbaiki dan mempersiapkan diri untuk suami kelak.